Perempuan Berani


Di tengah keramaian, entah mengapa aku merasa sendiri. Orang orang ramai disekelilingku, tapi semua sibuk dengan gawai mereka, anakpun ditelantarkan ibunya. Miris memang. Aku melongok kesamping kananku, seorang wanita tengah membuka akun Instagram seseorang sambari tersenyum mesem. Disamping kiriku, seorang pemuda sedang bervideo call-an dengan Seorang wanita paruh baya. Aku menghela napas. Dunia maya, mendekatkan yang jauh menjauhkan yang dekat, katanya.

Aku sendiri bukannya tak memakai sosial media, aku punya semua akun sosial media. Tapi sayangnya aku tak benar benar jatuh pada mereka. Karena menurutku sosial media atau dunia maya itu hanya palsu, namanya saja dunia maya. Maya (adjektiva) hanya nampaknya ada, tetapi nyatanya tidak ada; hanya ada dalam angan angan; khayalan (KBBI)

Itu sebabnya aku tak pernah percaya dengan postingan orang di akun sosial media mereka. aku menyaksikannya sendiri, teman temanku. Mereka butuh waktu hampir satu jam hanya untuk memilih dan mengedit foto yang akan mereka unggah di akun sosial media mereka. Dan asal kau tahu, mereka tak akan mengunggah sesuatu yang akan membuat mereka malu. Mereka hanya akan mengunggah kebahagiaan mereka.

Bukan, aku bukan seorang ansos. Kukatakan kembali, aku punya semua akun sosial media. Tapi hanya untuk melihat berita dan apa yang sedang terjadi didunia maya. Bukan untuk memberitahu kepada semua orang tentang kehidupan pribadiku.

Ting

Pemberitahuan masuk, kubuka gawaiku dan melihat pemberitahuan di akun instagramku. Penasaran, kubuka akun ku, seseorang membalas IGstory ku yang beberapa jam lalu aku unggah, opiniku mengenai nikah muda.

“Assalamualaikum, maaf apakah mas tidak berniat untuk segera menikah?”         11.30 WIB

Membaca pesan itu membuat aku tersedak air liur ku sendiri. Apa apaan ini perempuan? Sudah kubilang bukan, dunia maya itu benar benar dunia khayalan?

Aku menggeleng gelengkan kepala bingung. Ku makasukan kembali gawai ke dalam saku. Kemudian aku tersadar kalau membalas salam itu wajib hukumnya, dan dosa jika tak di balas. Maka aku memutuskan untuk membalasnya,

“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh”  11.45 WIB

Sent

Pulang kerumah aku memutuskan untuk mandi, keramas sepertinya akan mendinginkan otakku.

Ting

“Maaf mas, kalau tidak keberatan. Ada seorang perempuan yang tertarik dengan mas, apakah mas bersedia untuk ta’aruf dengannya? Kalau mas bersedia, saya kirim cvnya”  12.00 WIB

Astagaaa … ini orang bener bener ya? Aku banting gawaiku keatas kasur, kalau kelantai sayang, cicilannya masih lama. Takut pesan seperti itu muncul lagi, aku putuskan untuk mematikan data seluler dan tidur. Kembali aku bergidik ngeri, aku yang jarang unggah foto pribadi aja bisa ada yang mengirim begitu, bagaimana dengan mereka yang menghabiskan hari harinya di sosial media ya?

***

Aku masih enggan membuka Instagram, takut pesan seperti itu muncul lagi. Aku lelaki normal, dan pasti ingin menikah. Tapi untuk saat ini aku merasa belum mampu, usia ku baru 23 tahun. Masih banyak yang harus aku banggakan termasuk mama. Dan pikiran untuk menikah masih sangat jauh untukku.

Sudah hampir satu bulan aku tidak membuka Instagram, hari ini aku membuka akunku kembali untuk melihat jadwal reuni yang katanya di bagikan di Instagram. Saat ku buka akunku,

Deng

Deng

20jan19
“Maaf mas, bagaimana?”      12.00 wib

21Jan19
 “Dia perempuan baik,”                      11.11 wib

22jan19
“Bagaimana kalau saya kirim cvnya disini?”                       11.11 wib

23jan19
“Ayahnya seorang pengacara, ibunya hanya ibu rumah tangga. Ia berasal dari keluarga baik baik. Kini, ia sedang menyelesaikan skripsinya di jurusan hukum.”           11.12 wib

24jan19
“Ia lahir di Garut, 15 Agustus 1998.”

Dan seterusnya hingga sebulan. Akun itu terus menceritakan seorang perempuan yang katanya berminat denganku. Dan jujur, membaca pesannya membuatku sedikit tertarik. Camkan ya, se di kit. Pesan itu aku biarkan, biar saja ia berkicau aku tak berminat.

25feb2019
“Sebenarnya, semua yang disebutkan diatas adalah cv saya. Saya yang mengagumi mas, bukan orang lain. Saya kagum dengan cara mas memanfaatkan akun sosial media mas, bagaimana mas berdakwah tanpa menggurui dan bagaimana mas membagikan kedekatan mas dengan keluarga, khususnya Ibu mas.

Awalnya saya hanya mengagumi mas seperti itu, tidak lebih. Namun, ketika mas membagikan instastory mas sedang mengaji, disitu saya merasa jika rasa saya untuk mas lebih. Kagum itu lebih dari sekedar kagum kepada teman. Saya hanya bisa memendam, karena saya seorang perempuan. Hanya melalui do’a saya sampaikan rasa saya. Berharap mas baik baik saja dan bisa sedikit melihat saya.

Saya sering dengan sengaja membuat instastory agar bisa dilihat mas, dan beberapa kali mas lihat. Dan betapa bahagianya saya ketika saya lihat mas melihat story saya. Namun, akhir akhir ini mas sudah jarang mampir di story saya, saya bingung. Harus menyampaikan rasa ini dengan cara apa lagi?

Jujur, saya malu mengatakan semua ini, saya malu jika harus menyatakan perasaan dahulu kepada seorang lelaki. Bagaimana pun, saya seorang perempuan yang pantasnya menunggu, dilamar. Bukan melamar, dan menyodorkan diri seperti ini.

Sebelum saya benar benar mengirim semua ini, saya sempat membaca postingan yang mas bagikan. Mengenai Ibunda Khadijah yang menyatakan perasaannya kepada Nabi Muhammad SAW terlebih dahulu, walaupun melalui seorang perantara. Disitu saya memberanikan diri untuk mengikuti jejak beliau. Walaupun mungkin cara saya salah, saya berharap mas tidak risih dengan apa yang saya lakukan.

Sebelumnya saya minta maaf, dan jika mas terganggu dan menganggap saya gila dan sebagainya, mas boleh blokir saya. Terimakasih, karena mas saya bisa merasakan namanya mencintai seseorang karena-Nya.

Sekali lagi, mohon maaf.

Wasalam”                   01.15 PM

Membaca pesan itu, aku hanya menganga. Apa apaan ini? Apa benar apa yang aku posting berarti dakwah dimata orang? Penasaran, aku buka profil gadis itu. Tak ada satupun foto dirinya yang diposting. Satu satunya foto adalah avatarnya, foto ditengah pantai yang sedang menatap kamera tanpa sengaja. Mencoba memperbesar, tapi ternyata susah. Ah perempuan ini kenapa membuatku bingung?

“Ah ya, …… (hapus)

“Terimakasih untuk perasaanmu, tapi (hapus)

Ah kenapa aku harus segugup ini? Seumur umur berhadapan dengan berbagai perempuan tak pernah membuatku sampai harus menghapus pesannya berkali kali. Aku harus menjawab apa? Menerima? Tapikan aku gak kenal. Menolak? Kasian dia. Aduh!

“Lo kenapa sih? Dari tadi gue lihat lo kaya frustasi gitu?” temanku duduk didepanku, ia meraih gelas kopiku dan meneguknya. Aku hanya menggeleng.

“Eh, lo pernah dilamar cewe ga?” Raga menatapku heran, lalu tertawa.

“Wadaw, lo dilamar cewe?”

“Etdah nanya malah balik nanya.”

“Hahah sensi banget lo! Kagak pernah. Biasanya gue yang bakalan nembak mereka, cewekan dasarnya malu malu kucing begitu ya. Jadi ya tarik ulur dulu aja, nanti tembak. Dor!” ia mengarahkan tangannya membentuk pistol kearahku “Tapi kalau cewe yang nembak cowo duluan sih menurut gue …..  dia pemberani banget. Keren!” Kali ini mengacungkan kedua ibu jarinya.

Mendengar perkataannya, membuat ku semakin bingung. “Keren dari mananya? Bukannya itu sedikit memalukan ya? Kan lo bilang tadi cewe itu sifatnya malu malu?”

“Justru itu, karena dia punya sifat malu, maka untuk mengungkapkan perasaannya dia perlu keberanian yang besar. Keberanian untuk ditolak, dia harus udah mempersiapkannya. Dan perempuan kaya gitu menurut gue perempuan berani”

Semakin mendengar perkataan Raga, semakin membuat ku tak paham. Karena bingung, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil wudhu dan bertadarus, siapa tahu dengan menyibukan diri dengan-Nya aku bisa lupa dengan pesan dia.

***

Seminggu setelah pesan terakhirnya, ia benar benar tak pernah mengirimiku pesan lagi. Sedikit kehilangan, karena biasanya di jam 11 siang ia akan mengirimiku pesan. Karena penasaran, aku bercerita kepada Guru yang biasa ku ikuti kajiannya.

“Kalau kamu memang siap, atau penasaran, kenapa kamu tidak coba untuk bertemu dengannya? Meminta penjelasannya secara langsung. Daripada hanya membacanya melalui tulisan.” Aku menganggukan kepala. Mengiyakan perkataan Ustaz. Dengan berbekal petuah beliau, aku memutuskan untuk maju, menanyakannya secara langsung bukan kabur seperti lelaki pengecut.

3mar2019
“Afwan, baru saya balas. Jika kamu berkenan, bisa kita bertemu dan mejelaskan semuanya? Saya rasa tidak elok membahas hal sepenting ini di sini”                   3.50 PM

Satu jam setelah pesan itu terkirim, ia tak membalasnya. Tak ada tanda bahwa dia sedang online. Ah apa jangan jangan aku ditipu? Sialan, kenapa aku harus tertipu dengan pesan pesan seperti itu sih?

Seperti orang kurang kerjaan, setiap gawaiku berbunyi aku akan selalu buru buru melihatnya. Dan kecewa ketika itu bukan pemberitahuan yang ku inginkan. Seminggu setelah insiden pesan itu, aku benar benar tak lagi berharap ia akan membalasnya, aku akan menganggap diriku sedang tertipu orang iseng. Oke baik.

Di hari ke 9, gawaiku berbunyi. Pemberitahuan dari Instagram, perempuan itu mengirimiku pesan lagi.

12mar2019
“Maaf, saya bingung dengan percakapan kalian disini. Apapun yang terjadi sebelumnya, saya mohon maaf. Anak saya tidak dapat membalas atau menanggapi pesanmu, 10 hari lalu ia kecelakaan. Dan sekarang, ia koma di rumah sakit.”                        7.15 AM

Pesan itu, kenapa sangat menyakitkan? Apa apaan ini? Tunggu, 10 hari lalu? Bukankah itu sehari sebelum aku membalas pesannya? Ah bego! Coba saja kalau aku lebih cepat membalas pesannya. Pasti ceritanya akan sedikit berbeda. Eh tunggu, aku tidak tertipu lagi bukan?

Setelah bertukar pesan dan bertanya dimana ia dirawat akhirnya sampailah aku disini, Rumah Sakit Immanuel. Sedikit memaki kaki dan tubuhku, mengapa mereka membawaku melangkah kemari?

Aku tidak menyukai rumah sakit. Bau obat, geretan blangkar, tangisan keluarga pasien membuat rumah sakit benar benar menjadi tempat yang sangat mengerikan. Belum lagi kisah horor yang biasa teman temanku ceritakan, sungguh jangan sampai aku disini tengah malam. Dengan tergesa ku lirikan pandangan kesekitar, ruang ICU ada diujung lorong.

Kulihat seorang ibu mengayunkan tangannya kearahku, sepertinya ia adalah ibu dari perempuan itu. Beliau cantik, meskipun keriput mulai memenuhi wajahnya. Tersenyum hangat, ia merangkulku.

“Ah, anakku tak salah pilih,” kudengar beliau bergumam di balik punggungku. Sedikit bingung, aku hanya tersenyum malu. “Ayo, dia pasti tidak sabar melihatmu” Beliau mengajakku memasuki ruangan itu, sebelumnya seorang suster memberiku seperangkat baju khas medis, untuk menghindari bakteri langsung menyentuh pasien, katanya.

Memasuki ruangan, kulihat tubuh yang tertidur diatas blangkar. Seluruh tubuhnya dipenuhi dengan selang, wajahnya pucat, benar benar membuatku miris. Namun yang paling membuat aku terharu adalah disaat tak sadarpun, ia tak melupakan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Kerudungnya masih terpasang cantik di kepalanya. Ah, mungkin ibunya yang memasangkan itu.

“Dia hendak pergi ke minimarket dengan motornya, ditengah jalan dia ditabrak dari belakang, sampai terjatuh dan berguling. Kepalanya membentur tiang listrik, dan sekarang dia harus menghabiskan hari harinya diatas kasur seperti ini.” Wanita paruh baya itu mengusap lengannya lembut, takut usapannya menyakiti gadis itu. “Jadi, apa saja yang sudah dia katakan kepadamu?”

Mendapat pertanyaan itu, membuatku bingung. “Maaf bu, saya dan putri ibu belum pernah sekalipun bertemu. Adapun percakapan yang terjadi di pesan Instagram itu, sayapun kurang paham, kenapa putri ibu tiba tiba mengatakan hal itu.”

Ibu itu tersenyum, lalu membawaku duduk di kursi yang sudah disediakan. “Setahun lalu, ibu merasa sikap dia berubah. Dia lebih ceria, lebih semangat, dia pun memutuskan untuk berhijab. Setiap minggu, ia isi hari minggunya dengan kajian. Tak ada lagi lagu lagu yang biasa ia nyanyikan disetiap pagi, hanya alunan Al Qur’an yang ia lantunkan. Ibu bingung, ada apa dengan anak ibu? Apa dia baik baik saja? Apa ini bukan pertanda bahwa dia akan segera dipanggil-Nya? Apa dia ikut ajaran sesat? Jujur, pikiran negatif itu selalu menghantui ibu, sampai akhirnya ibu dan bapak memutuskan untuk bertanya kepadanya langsung. Dan jawabannya benar benar membuat ibu kaget.” Ku lihat ibu perempuan itu menatapku dalam, ah apa cerita selanjutnya? Aku penasaran,

“Kamu. Dia menunjukan fotomu dan ibumu yang sedang berlibur. Dia bilang ‘Bu, lelaki ini membuat aku benar benar sadar, apa yang aku lakukan selama ini salah. Dia membuat aku ingin belajar islam lebih dalam lagi, dia membuat aku ingin belajar menjadi seorang istri saliha, menjadi ibu yang baik. Dan, aku ingin menjadi istrinya bu, aku ingin dibimbingnya dan ingin ke Jannah bersamanya’ waktu itu ibu kaget. Ibu kira dia hanya sebatas bicara omong kosong, impiannya menjadi istrimu hanya cerita lalu. Tapi 2 bulan lalu, seseorang datang ke rumah kami. Dia meminang anak ibu untuk menjadi istrinya, ibu bilang bahwa ibu menyerahkan semuanya kepada anak ibu. Dan malamnya, ia berkata bahwa ia tidak bisa menerima lamaran lelaki itu. Ia tidak mau menikah dengan seseorang yang tidak ia cintai. Lantas ibu bertanya lelaki mana yang sedang kamu cintai itu? Dia menjawab kamu. Ibu benar benar mengira bahwa ia ngaco, kalian belum pernah bertemu, lantas mengapa ia begitu yakin kepadamu? Maka ibu bilang kepadanya, bawa lelaki itu kepada ibu, maka ibu akan mempertimbangkannya. Setelah itu terjadilah semua pesan yang kamu terima.” 

Mendengar penjelasan wanita disampingku membuatku tertunduk malu “Ibu berkata seperti ini bukan untuk memaksamu menerima anak ibu, tidak. Semua pilihan ada padamu, ibu hanya ingin berterimakasih, karenamu anak ibu berubah. Dia menjadi anak yang lembut dan sopan, tak ada kata bantahan lagi setiap ibu menasihatinya. Postinganmu di sosial media membuat orang lain tersentuh. Mungkin beberapa orang akan salah mengartikan pesanmu, menganggapmu sok alim atau bahasa lainnya, tapi beberapa oranglain mendapat hidayah dengan pesanmu. Jangan berhenti membagikan kebaikan, meski orang orang mencibirmu”

Pesan itu selalu aku ingat, hingga kini setahun berlalu dan perempuan yang terbaring di blangkar itu kini tengah sibuk dengan alat dapurnya. Aku tersenyum mengingat semuanya, bagaimana akhirnya aku kalah dengan sebuah lamaran melalui direct message. Sosial media, ah ternyata kau tak samengerikan yang aku pikir. Segala sesuatu bergantung cara kita menyikapinya bukan? Begitu pun sosial media. Dan aku bersyukur, sosial media menjadi perantara antara aku dan dia, dan aku juga bersyukur, postingan Siti Khadijah yang aku bagikan memberinya keberanian untuk menyampaikan maksudnya. 

Kulihat ia berbalik, dan tersenyum manis. Sungguh Nikmat Tuhan yang manakah yang aku dustakan?

Komentar

Postingan Populer