Let's Say! (Cerpen)

Cantik, pintar, anak kepsek, sayangnya badung. Kennya namanya, anak emas SMK Angkasa. Bukan, bukan karena ayahnya kepala di sekolah itu, melainkan karena prestasinya yang mampu mengangkat keterpurukan sekolah.

Akreditasi sekolah yang sempat di pertanyakan karena ketidakterampilan kepala sekolah sebelumnya membuat Andri - ayah Kennya selaku kepala baru harus pontang panting membereskan semua masalah yang diperbuat atasannya dulu. 

“Telat lagi, Kennya?” Gadis yang sembunyi sembunyi masuk gerbang itu langsung terhenyak, kaget melihat wakasek kesiswaannya disana.

“Yaelah Pak, telat semenit aja” ia memberengut.

 Lalu kekehan wakasek itu membuatnya mendongak menatapnya dengan alis mengkerut.
“Mentang mentang anak Kepala Sekolah kamu bisa seenaknya? Saya gak akaan beda bedain murid. Masuk masjid dan kerjakan tugasmu” 

Kennya bosan mendengar semua itu. Apa salahnya jika ayahnya yang berkuasa disini? Apa salahnya jika ia anak dari kepala sekolah?
Ketika melihat wakaseknya lengah, ia buru buru kabur, memasuki kelasnya. Selamat.

***
“Kamu bikin ulah lagi Nya?” yang ditanya hanya mendongak menatapnya “Tadi pak Heri datang ke kantor ayah”

“Oh” kemudian Ia melanjutkan lagi makannya.

“Gak ada pembelaan, Kennya?” Andri kembali menatap putri sulungnya yang hanya melanjutkan makan, tanpa berniat menjawab.

“Gak ada. Nyanya udah selesai. Nyanya pamit tidur ya? Good night” selesai dengan kalimatnya, ia melangkah memasuki kamar, ia dengar ayahnya tengah beradu mulut dengan Kiran - ibunya - yang membela dirinya. Namun ia tak peduli.

***
Tok tok
Andri yang tengah berkutat dengan proposal yang akan ia ajukan mengarahkan pandangannya pada pintu yang di ketuk tergesa. “Masuk”

Si pengetuk pintu masuk, dan Andri hanya bisa menghela nafas lelah. “Ada apa lagi Pak Heri?”

Heri yang tak sabaran langsung menduduki kursi di hadapan Andri, “Ini yang ke 5 kalinya dalam minggu ini Pak. Apa bapak yakin tidak mau mengikuti saran saya untuk memasukan Kennya menjadi anggota OSIS? Setidaknya dengan begitu, dia punya tanggung jawab dan kedisiplinan. Bergabung dengan klub karate hanya akan membuat Kennya kurang disiplin.”

Andri mengurut keningnya lelah, “Sudah saya tegaskan berkali kali Pak Heri, saya tidak akan memaksa anak saya melakukan hal yang tidak ia sukai. Dia berkuasa atas dirinya, dan saya hanya pendukung gardu terdepannya. Lagian klub karate akhir akhir ini juga membanggakan. Mereka banyak menyumbangkan piala.”

“Iya Pak, tapi ini masalah Kennya loh. Dia telat Pak. Gak disiplin.” Heri tetap pada pendiriannya. Kenya harus masuk OSIS.

Andri menghela nafasnya panjang “Pak Heri, Kennya telat Cuma 1 atau 2 menit. Gak pernah saya lihat dia telat sampai 5 menit lebih. Dan, Kennya juga selalu dapat hukuman dari apa yang dia perbuat”

Heri tak mau kalah, ia kembali bersua dengan badan condong ke arah Andri “Pak, Kennya itu anak Bapak. Harusnya dia jadi teladan bagi murid yang lain. Saya tegaskan kepada Bapak, kalau Kennya tidak masuk OSIS, Kennya harus di skors.” Ia bangkit dan merapikan pakaiannya, “Saya permisi”

Sepeninggalan Heri, ia terus berfikir bagaimana cara meyakinkan Kennya. Jujur, ia lelah dengan semuanya. Kennya yang selalu telat, dan Heri yang terlalu membesar besarkan. 

***
Kennya melihat ayahnya mendekati lingkaran yang dibuat klub karate di tengah lapang. Ia meringis melihat raut wajah ayahnya, apa sebegitu melelahkannya menjadi seorang Kepala Sekolah?

“Permisi, boleh saya pinjam Kennya sebentar?” Ia menatap seluruh anggota karate dengan wajah ramahnya.

Wahyu, sang Ketua dengan ramah berdiri dan menjawab “Oh tentu saja boleh pak. Silahkan silahkan”

Mendengar perizinan dari sang ketua, Andri segera menggenggam tangan Kennya “Terima kasih” dan segera membawanya keluar dari lingkaran tersebut.

***
Kennya lihat ayahnya bolak balik. Sesekali keningnya mengkerut dalam. Lama lama ia jengah pula “Kalau gak ada yang mau ayah sampaikan Nyanya balik lagi deh. Ada latihan buat turnamen bulan depan.”

“Kamu beneran gak mau ikut OSIS Aja Nya?” Andri mengatakannya dengan cepat. Takut anaknya itu tersinggung.

“Enggak.” Kennya melihat ayahnya heran “Pak Heri ngadu apa lagi sama ayah?”

Mendengar pertanyaan itu, Andri sontak menatap anaknya “Heri bilang kamu telat lagi. Kamu emang gak bisa Nya gak usah tidur lagi sehabis subuh? Jadi kamu gak akan kesiangan”

Kennya memutar bola matanya jengah, “Yah, Nyanya kan telat juga Cuma semenit paling lama 5 menit. Gak sampe tuh Nyanya ketinggalan pelajaran.”

Andri duduk, menyamakan tingginya dengan Kennya, “Masalahnya, kamu ini anak ayah. Dan masalahnya lagi, ayah ini Kepala di sini.”

“Lagian siapa yang mau sekolah disini? Ayah kan yang nyuruh Nyanya sekolah disini. ‘buat mempertahankan akreditasi’ itu kan yang Ayah bilang?” Kennya mengusap sudut matanya yang berair dengan tergesa, amarahnya tak lagi bisa dikendalikan “Tapi pernah gak sih Ayah tanya apa yang Nyanya mau? Nyanya mau jadi apa kedepannya? Pernah Yah? Enggak!”

Tangisnya kini semakin terisak, tak sanggup lagi ia menahan sesak ini “Ayah tanya, kenapa Nyanya selalu telat? Nyanya belajar Yah! Nyanya ngejar ketertinggalan Nyanya sama temen temen Nyanya yang sekolah di SMA, karena Nyanya pengen kuliah di universitas negeri. Pengen jadi Dokter. Tapi apa Ayah pernah tahu? Enggak! Ayah Cuma mentingin sekolah, proyek, proposal, Ayah gak pernah mentingin Nyanya!” Kennya melihat Ayahnya diam dan hanya menatapnya tak percaya. Lalu sebelum Andri sadar, ia cepat cepat pergi, menutup pintu dengan kasar.

***
Andri tersadar saat pintu ditutup dengan kasar, ia segera berlari, mengejar anaknya. Diluar Ia lihat orang orang berkumpul di depan ruangannya, Ia yakin mereka mendengar semuanya. Dan Ia tak peduli. Ia lebih peduli pada Kennya, yang ternyata menderita karenanya.

Andri kembali mendatangi klub karate, namun katanya Kennya tak kembali kesana dan Ia meninggalkan tasnya. Andri membawa tas anaknya itu, lalu melihat isinya. Ia terkejut melihat buku pelajaran biologi serta kimia berada di sana. Jelas ini bukan pelajaran yang di berikan di sekolah ini, dan Kennya tak berbohong tentang ini. 

Segera Andri menelpon Kennya, namun sayang bunyinya ada di dalam tas. Ia pun menelpon istrinya, namun katanya Kennya belum pulang. Lantas kemana Kennya?

Andri segera melajukan mobilnya meninggalkan lingkungan sekolah, membawa mobilnya ke tempat tempat yang pernah Kennya ucapkan, namun tak ada Kennya disana. Kembali Andri menyusuri jalanan kota, berharap Kennya berada di pinggiran jalan tengah menunggunya.

Matahari tenggelam, digantikan bulan. Gelap pun memenuhi seluruh penjuru kota, namun Andri masih tetap di belakang kemudinya, mencari cari keberadaan Kennya. Hingga dering gawainya membuat ia menghentikan mobil, istrinya menelpon katanya Kennya sudah pulang. Ia bernafas lega, lalu memutar balikan mobil ke arah rumahnya.

***
Kiran yang tengah menyirami kebun terkejut melihat Kennya datang dengan wajah berantakan, dengan segera ia dekati anaknya.

“Kennya, ada apa?” ia tak pernah melihat anaknya sekacau ini. Ia takut terjadi sesuatu pada anak sulungnya ini.

Namun yang di tanya hanya menangis dan memeluknya erat, sungguh Kiran benci melihat anaknya menjadi lemah seperti ini. “Tolong jangan bilang ayah kalau Nyanya di rumah. Nyanya mohon bun.”

Kiran mengangguk ragu, “Apa Ayah sudah tahu semuanya? Apa Ayah marah?” Dan Kennya hanya bisa memperdalam pelukannya. Menumpahkan segala bebannya pada sang ibu. Ketakutannya melihat sang ayah kecewa membuat Kennya menjadi seorang pengecut. Hal yang selalu Kiran tanamkan pada anak anaknya, namun nyatanya, Kennya menjadi seorang pengecut karena orangtuanya. 
***
“Nyanya mana Bun?” Andri datang dengan tergesa, buru buru Ia dekati istrinya yang tengah memasak.

“Di kamarnya Yah, tidur dia” dilihatnya Andri dengan segera menaiki tangga, dan Kiran hanya bisa menghela nafas panjang. Semoga keduanya bisa menyelesaikan kesalahpahaman ini.

Di atas, Andri mengetuk pintu kamar putrinya, namun tak ada jawaban dari dalam. Andri pun berinisiatif membukanya, didalam sana Nyanya tengah bergemul dengan selimutnya. Andri duduk disampingnya sambil menatap sekeliling kamar anaknya itu, sudah berapa lama Ia tak memasuki kamar ini? Sudah berapa lama Ia tak membantu Nyanya belajar? Karena kini, kamar Kennya telah berubah banyak, dan Andri tak tahu apapun tentang anaknya, Ia terlalu sibuk dengan ambisinya menjadi Kepala Sekolah yang baik hingga Ia lupa menjadi Kepala keluarga yang baik.

Andri menangis mengingat itu, Ia telah melangkah terlalu jauh. Tangan yang mengelus kepalanya membuat Andri terhentak, Ia lihat Kennya tengah tersenyum menatapnya. “Ayah kenapa?”

Dan Andri hanya bisa menangis tersedu di pelukan Kennya. “Ayah jangan nangis. Udah, Ayah adalah ayah terbaik yang pernah Nyanya punya.”

Andri melepas pelukannya, dan menatap Kennya lekat, “Nyanya mau apa heum? Mau pindah ke SMA aja? Biar Ayah yang urus ya?”

Kennya hanya menggeleng, lalu memeluknya erat. “Nyanya gak mau pindah, Nyanya mau Ayah aja yang ajarin Nyanya”

Andri menatapnya tak percaya, “Kamu .. serius Nya?”

Kennya mengangguk mantap, lalu mengambil bukunya dan memberikannya pada sang Ayah “Ajarin Nyanya kalkulus dong Yah. Semaleman Nyanya nyoba ngerjain gak bisa bisa”

Melihat anaknya cemberut seperti itu membuat Andri terkekeh dan segera membawa buku Kennya “Sini Ayah ajarin”

“Bunda bisa bantu apa nih? Bantu bikin makanan yang enak aja ya?” Keduanya terkekeh melihat Karin yang datang dengan sepatulanya. Rupanya ia mengintip dari tadi.


Semua akan mudah bila di bicarakan dengan baik, dari hati ke hati. Kita gak akan pernah tahu apa yang akan terjadi bila kita tidak mencoba untuk melangkah. Dan langkah pertama Kennya berjalan mulus, semoga sampai kedepannya. Cicit Kennya dalam hati.





*** Cerita ini dibuat bukan untuk merendahkan kurikulum SMK yang ada, ini hanya pendapat saya selaku alumni SMK yang merasa tertinggal jauh dari siswa SMA dalam berbagai materi. Berharapnya semoga kedepannya, para petinggi atau pengurus kurikulum agar memperbaiki kembali kurikulum SMK yang ada. Karena nyatanya, tidak semua siswa SMK merasa jurusannya di SMK adalah passionnya. 

Dan juga, lapangan kerja yang menyulitkan para lulusan SMK untuk bekerja. Lulusan SMK itu seperti bimbang, memilih kerja, sayangnya kebanyakan persyaratan yang ada, lebih menerima lulusan strata 1. Dan kuliah di universitas negeri pun, sepertinya hanya sebuah keberuntungan.

Komentar

Postingan Populer